Jumat, 04 November 2011

KONSEP DIRI ANAK JALANAN

Latar Belakang
Fenomena anak jalanan sebetulnya sudah berkembang sejak lama, tetapi masalah yang dulu hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan terutama pemerintah sekarang ini semakin sudah menjadi perhatian dunia secara serius, seiring dengan meningkatnya jumlah anak jalanan di berbagai kota di dunia. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu timbulnya fenomena ini, diantara beberapa pemicu yang lainnya, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan.
Indonesia merupakan negara berkembang yang “identik dengan 'kemiskinan”. Kita dapat melihat di setiap kota yang hampir pasti ada daerah yang perumahannya berhimpitan satu dengan yang lain, perumahan-perumahan yang dibangun ditempat yang tidak diijinkan dan akhirnya menjadi daerah yang padat penduduk serta kumuh, banyaknya pengamen, pengemis, anak jalanan dan masih banyak lagi keadaan yang dapat menggambarkan “masyarakat miskin perkotaan”. Bahkan saat ini diperkirakan ada 50.000 anak yang “terjun” di jalanan untuk mencari penghidupan.
Anak-anak yang seharusnya berkembang dengan normal melewati setiap tahapan perkembangan yang ada malah sudah mulai bekerja melakukan tugas layaknya orang tua. Banyak anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya dijalanan untuk mencari penghidupan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk “orang lain” daripada menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain seperti layaknya anak-anak kebanyakan.
Banyak cara yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi jumlah anak jalanan di Indonesia. Namun semua itu terasa sia-sia karena bukan semakin menipisnya jumlah mereka tetapi malah semakin banyak saja anak-anak yang turun ke jalan untuk mencari penghidupan mereka. Mereka mengamen di berbagai tempat dan juga dengan berbagai cara. Mengamen saat ini tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja tetapi sudah merupakan pekerjaan tetap yang prospek kelestariannya akan berlanjut.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep pencitraan diri anak jalanan ?
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah wawancara. Dimana subjek adalah seorang anak jalanan yang hidup di jalanan (children on the street). Subjek bernama Andi, anak jalanan yang datang dari Kerawang untuk mencari pekerjaan dan akhirnya memutuskan untuk mengamen. Andi berusia 13 tahun.
Kajian Pustaka
Konsep diri pada anak jalanan
Fenomena anak jalanan yang sekarang semakin berkembang secara pesat sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia, hanya saja masalah yang lama ini baru dipandang secara serius akhir-akhir ini karena semakin hari semakin meningkat jumlah pengamen jalanan yang ada di Indonesia. Di Indonesia terdapat 50.000 bahkan lebih anak-anak yang sudah bekerja dan turun ke jalan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari demi kelangsungan hidup yang mereka jalani.
Menurut de Maura (2002), anak jalanan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yakni anak jalanan yang bekerja dijalanan dan anak jalanan yang hidup di jalanan. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, anak-anak yang bekerja dijalanan memiliki banyak alasan antara lain untuk membantu orang tuanya dengan presentase sebanyak 71%, dipaksa membantu orang tuanya sebanyak 6%, menambah biaya sekolah sebanyak 17%, dan karena ingin hidup bebas, menambah teman serta uang jajan sebanyak 33%.
Dengan alasan yang berbeda-beda tersebut juga membuat penampilan pengamen jalanan berbeda. Secara umum, masyarakat selalu menilai negative pengamen jalanan, kebanyakan mereka menilai hanya karena melihat penampilannya yang lusuh dan bau tetapi ada juga yang berfikiran bahwa pengamen jalanan sangat mungkin untuk melakukan tindakan kriminal disaat pendapatan mereka tidak mencukupi untuk kebutuhan hari itu. Padahal tidak semua dari pengamen jalanan melakukan hal tersebut (seperti Andi, anak jalanan yang kami wawancarai kemaren). Penampilan yang lusuh dan kumuh membuatnya dipandang negative oleh lingkungan sekitarnya meskipun ia tidak pernah melakukan tindakan kriminal.
Chaplin menjelaskan bahwa konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri atau penafsiran mengenai individu oleh individu yang bersangkutan. Konsep diri tercipta karena adanya interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Apa yang dipersepsikan oleh lingkungan sekitar sangat mempengaruhi penilaian mengenai diri uang akan dibentuk. Penilaian itu terbentuk juga atas beberapa faktor seperti struktur, peran serta status sosial dari individu yang bersangkutan (Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Menurut Subadi, dkk (1986).
Baldwin dan Holmes (dalam Calhoun dan Acocella 1995), terdapat beberapa faktor pembentuk konsep diri pada remaja yaitu :
1. orangtua
sebagai kontak sosial yang paling awal kita alami.
2. teman sebaya
ini berhubungan dengan faktor penerimaan atau penolakan dalam komunitas bermain.
3. masyarakat
yang menganggap fakta-fakta penting tentang kelahiran dan sampai saatnya informasi itu masuk kedalam konsep diri si anak.
4. belajar
dimana muncul konsep diri bahwa konsep diri kita adalah hasil dari belajar dan dapat didefinisikan sebagai perubahan psikologis yang terjadi didalam diri individu secara permanen akibat dari belajar
Menurut Calhoun dan Acocella 1995, terdapat tiga dinemsi pencitraan diri yakni pengetahuan, harapan serta penilaian atau evaluasi. Dimensi pertama adalah pengetahuan. Segala pengetahuan yang dimiliki oleh individu ini dapat tercermin dalam keluarga, sekolah serta teman sebaya. Menurut Burns (1993), merasa tidak disenangi adalah salah satu ciri dari individu yang memiliki konsep diri negative. Dalam keluarga, jika subjek merasa bahwa seluruh anggota keluarga tidak menyukainya maka ini akan menimbulkan konsep diri yang negative dalam dirinya. Dalam pergaulan teman sebayanya, subjek merasa dapat diterima dalam komunitasnya dengan baik tetapi sayangnya komunitas subjek ini adalah komunitas punk rock yang memaksa subjek untuk melakukan kegiatan negative maka disini subjek memiliki sesuatu yang dapat menariknya ke arah pencitraan diri negative jika subjek tidak menarik diri, sampai suatu saat subjek memutuskan untuk keluar dari komunitas tersebut dan disini subjek memiliki sesuatu yang dapat menimbulkan pencitraan yang positif bagi dirinya sendiri.
Statusnya sebagai anak jalanan, subjek merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi setelah kematian kedua orangtuanya maka dari itu subjek memilih untuk pergi ke Jakarta untuk bekerja. Kesehariannya diisi dengan mengamen dari satu tempat ke tempat lain selama hampir seharian penuh, maka dari sini subjek dikategorikan kedalam anak jalanan yang hidup dijalan (children of the street). Saat mengamen subjek permah dikerjar oleh trantib dan dimasukkan ke dalam lembaga swadaya di daerah Kedoya. Subjek dikurung selama seharian didalam sel tanpa diberikan kegiatan pelatihan keterampilan atau kegiatan apapun, selama di lembaga swada tersebut setiap anak jalanan itu diperlakukan seperti binatang yang hanya diberikan makan sekedarnya tanpa diperbolehkan untuk keluar sel sedikitpun untuk beraktivitas. Karena merasa terkekang dengan keadaan maka subjek memilih untuk melarikan diri dari sel dan kembali terjun ke lapangan menjalankan kehidupannya seperti biasa. Dari banyak penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek cenderung memiliki konsep diri yang positif.
Berikutnya adalah dimensi harapan. Pengharapan ini bersifat diri ideal artinya apapun tujuan dan harapan subjek maka subjek akan berusaha untuk menciptakan suatu motivasi baik dari dalam ataupun luar diri subjek untuk mencapainya. Dalam kasus ini subjek memiliki beberapa harapan seperti ingin menjadi atlet bola serta ingin membangun penghidupan yang lebih layak lagi di masa yang akan datang. Dalam dimensi ini subjek berusaha mewujudkan harapannya melalui tabungan yang ia buat, subjek selalu menyisihkan hasil pendapatan hariannya untuk kehidupannya dimasa datang bahkan subjek juga sudah dapat menyewa kontrakan dengan biaya sewa 150 ribu rupiah/bulan dan untuk cita-citanya menjadi atlet subjek juga sering berlatih bermain bola ditengah-tengah pekerjaan mengamennya. Pencitraan diri yang sangat positif terlihat dari kegigihannya untuk menjalanin hidup dan kebanggaannya menjadi anak jalanan.
Dimensi yang ketiga adalah penilaian atau evaluasi. Evaluasi diri sendiri disebut sebagai harga diri yang akan menentukan sebagimana penerimaan lingkungan terhadap dirinya. Semakin jauh perbedaan penggambaran tentang diri dengan penerimaan lingkungan yang terjadi akan semakin rendah harga diri seseorang. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan komponen terpenting dalam hidup seorang individu.
Subjek sebagai anak jalanan merasa bahwa banyak sekali “tudingan” negative tentang anak jalanan hingga menyebabkan penerimaan subjek dilingkungan kurang baik. Karena banyaknya individu yang memandang anak jalanan sebagai sosok kriminal membuat kesenjangan yang sangat jauh antara gambaran tentang diri subjek dengan gambaran penerimaan yang dialami subjek dan ini mengakitbatkan subjek memiliki pandangan yang rending akan harga dirinya. Ini menunjukkan adanya pencitraan diri yang negative dalam diri subjek.
Berdasarkan penjelasan yang dilihat dari tiga dimensi tersebut, terlihat bahwa subjek memiliki kesadaran yang tinggi akan konsep dirinya. Subjek menyadari bahwa dirinya adalah seorang pengamen jalanan yang hidup dari jalanan dan menghabiskan banyak waktu di jalanan. Subjek merasa agak minder akibat penerimaan atau pemandangan sebelah mata kepada anak jalanan dan ini menimbulkan konsep diri yang negative kepada subjek.
Ada beberapa faktor yang dapat membentuk konsep diri negative pada subjek tersebut dan dapat dianalisis melalui faktor-faktor berikut ini. Pertama faktor keluarga, setelah kematian kedua orangtuanya subjek merasa sendirian dan tidak memiliki keluarga lagi dan sebagi pelariannya ia memilih untuk hijrah ke Jakarta dan menjadi pengamen. Faktor kedua adalah teman sebaya, dimana subjek sempat bergabung dalam komunitas yang “urakan” yang membuat seubjek menjadi selalu bersikap negative namun setelah berapa lama akhirnya subjek memilih keluar dari komunitas tersebut dan ini sedikit menimbulkan pencerahan bagi konsep diri seubjek. Ada sedikit konsep diri yang positif dalam diri subjek jika di kaji dari dimensi kedua ini. Faktor ketiga adalah masyarakat, penggambaran konsep diri yang positif yang bersenjangan dengan penggambaran penerimaan yang terjadi kembali menghadirkan konsep diri yang negative pada disi subjek.

2 komentar:

  1. menarik.....
    hampir mirip dg penelitian yg sdang aq kerjakan
    penerimaan diri dan interaksi sosial anak jalanan

    :)

    BalasHapus
  2. Senang rasanya menyimak pembahasan yang senada dengan buah pikiran saya yang sedang sering muncul akhir-akhir ini. Izinkan saya memaparkan buah pikiran saya mengenai Prinsip Mengamen di Indonesia.

    Saya sedang merenungkan; apa maksud dan tujuan konsep dari mengamen di Indonesia. Jika diluar negeri mengamen dianggap sebagai penjaja seni yang bermaksud menghibur dan mengharap balasan imbalan seikhlasnya, di Indonesia, Jakarta pada khususnya memiliki konsep mengamen yang kuat akan unsur premanisme.

    Apa saja fenomena premanisme yang ada pada konsep mengamen di Indonesia? Satu kata untuk jawaban ini, yakni pemaksaan.

    Pengamen di Indonesia akan keliling dan masuk ke tempat area terdekat Anda berada (door to door service). Jika diluar negeri mereka dikenal literally dengan istilah street performance karena adanya hanya di satu titik jalanan saja, di Indonesia pengamen akan lebih agresif keliling dan masuk ke restoran umum, bis, tempat Anda menunggu, dan mengambil ruang ketenangan Anda dalam radius setidaknya 2 meter.

    Agresi ini sudah mendapatkan ruang pemakluman di sosial dan budaya Indonesia, meskipun berlawanan dengan prinsip ekonomi; stability of supply and demand. Ada kebutuhan; akan ada komoditi. Tidak ada kebutuhan; tidak ada komoditi. If I need some acoustic music, I’ll pay for it. But if I don’t need it, why would I (pay for it)?

    Pertanyaan yang hakikinya adalah; “apa yang terjadi ketika kita tidak butuh dingamenkan?”

    Retorika barusan cukup dapat dijawab secara praktisi imajinasi terapan; “ya jangan dikasih lah, susah amat. Tolak aja, kasih tangan!”

    Mengamen menghadirkan prinsip sedekah sebagai sumber pendapatan. Tentunya hasil yang didapat merupakan manifestasi dari apresiasi audiens. Seiring dengan berdirinya PERDA No.8 2007 mengenai Larangan Memberi Uang Pada Pengemis, Pengamen, Asongan dan Pengelap Mobil, prinsip sedekah semakin terkerucut sasaran ke rumah ibadah atau lembaga penerimaan sedekah lainnya.

    Kemudian, apakah Anda akan memberikan uang kecil pada pengamen dengan azas apresiasi karya seni? Mungkin saja. Tapi apa yang terjadi jika apresiasi (baca: uang) tidak didapat dari audiens? Hal yang paling mungkin terjadi adalah:

    a) Pengamen Mengevaluasi Karya
    Pengamen menjadi mengevaluasi kualitas musik dan performa diri. Ini adalah ekses positif dari proses penerimaan kritik yang didapat. It’s always simple, if you play good music, people would appraise you. But if you play crappy music, people will fart at you. Then make a better music!
    b) Pengamen Mengumpat dan Mengutuk Audiens.
    Ini adalah ekses negatif dari penolakan kritik yang didapat. Bahkan sebelum mengumpat, biasanya didahului oleh tindakan apatis tetap memainkan musik sekalipun audiens tidak memberikan apresiasi yang diharap (baca: memberikan uang).

    Jika banyak profil pengamen yang memilih poin kemungkinan yang pertama, maka dunia ini akan lebih indah karena dibanjiri karya-karya yang semakin dapat dinikmati khalayak. Namun jika poin kemungkinan kedua menjadi pilihan karakter kebanyakan profil pengamen, maka aura negatif yang terbangun tidak lebih bahaya daripada menerbitkan embrio-embrio kriminal di kota besar.

    Jadi apa prinsip pengamen di Indonesia yang hakiki dengan atribut agresi-agresinya?

    BalasHapus